Pendahuluan
Studi
ini adalah studi mengenai pembiayaan gotong-royong Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) pada periode 1993-1999. Studi ini diawali dengan kritik
terhadap kajian pembiayaan partai yang telah ada. Kritik yang disebutkan
mengatakan bahwa kajian yang ada selama ini bersifat ahistoris dan tidak kontekstual, sehingga gagal menjelaskan
mengenai keberlanjutan institusi pembiayaan partai dalam alur kesejarahan.
Studi ini memusatkan perhatian pada momen-momen kritis (critical juncture) yang membentuk patahan sejarah pembiayaan
gotong-royong. Patahan sejarah yang dimaksud adalah kurun waktu dimana terjadi
kondisi anomali, abnormalitas, dan exceptional
dari model pembiayaan partai yang sudah melembaga dan menyejarah. Anomali ini
terlihat dari munculnya pembiayaan grassroots
protest movement (gerakan protes akar rumput). Pola pembiayaan gotong
royong ini jelas berbeda dari kebiasaan, serta menyimpang dari rutinitas
prosedur yang menjadi fondasi perilaku sebelumnya.
Untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih detail mengenai dinamika pembiayaan partai
khususnya PDI Perjuangan, maka studi ini menggunakan pendekatan historical institutionalism. Dengan
menggunakan pendekatan ini, dapat dilacak alur proses pembentukan dan
perkembangan institusi pembiayaan partai, sampai pada bagaimana institusi
tersebut mempengaruhi model pembiayaan PDI Perjuangan pasca Soeharto.
Pembiayaan Gotong Royong
Studi
ini menemukan bahwa pembiayaan gotong royong mulai muncul pada tahun 1993
sejalan dengan aksi oposisional (protes) yang dilakukan oleh PDI Pro Megawati.
Pembiayaan Gotong Royong ini makin menguat seiring dengan membesarnya grassroots protest movement yang
berlangsung pada tahun 1996-1999. Berikut adalah ciri dari pembiayaan gotong
royong :
1. Sumber
pembiayaan utama berasal dari kontribusi para pendukung secara swadaya.
Kontribusi ini dapat berbentuk barang atau uang. Semakin kuatnya pembiayaan
dari pendukung maka tingkat ketergantungan pada sumber dana eksternal otomatis
berkurang.
2 2. Pengeluaran
partai dikonversi menjadi kerja-kerja politik yang dilakukan secara partisanship, dimana pendukung partai
bekerja secara sukarela baik dalam pengorganisasian partai maupun dalam
kampanye pemilu. Pengelolaan
dana lebih banyak dilakukan secara desentralistik dan swakelola. Sehingga
muncul model subsistem atau bahkan swasembada, dimana dalam setiap
cabang-cabang partai bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri secara swadana dan
swakelola.
Mengapa pembiayaan gotong royong bisa muncul di tengah
keberlanjutan sejarah penggalangan dana
negara ala partai kartel? Studi ini menemukan bahwa ada 2 faktor kunci yang
membentuk pembiayaan gotong royong yaitu :
1 1. Terputusnya
akses elit partai pada sumber dana negara, karena sepanjang tahun 1993-1996 PDI
dibawah kepemimpinan Mega serta didukung oleh “arus bawah” melakukan perlawanan
terhadap intervensi pemerintah pada partai mereka. Resistensi dari para aktivis
ini menimbulkan reaksi balik dari rezim, dengan melakukan tindakan yang makin
represif yaitu mulai dari tuduhan “tidak bersih lingkungan” sampai menggalang
kongres tandingan untuk mengganti kepemimpinan Mega. Puncaknya adalah aksi
Kudatuli 27 Juli 1996. Tindakan ini membuat penggalangan dana negara untuk
membiayai partai berhenti dengan sendirinya. Elit partai pro Mega tidak
mendapat subsidi dari negara, tidak seperti elit PDI pro pemerintah. Dalam
kondisi seperti ini, elit partai tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpaling
pada dukungan akar rumput.
2 2. Menguatnya
partisanship dari the party on the ground. Implikasi logis dari
semakin represinya orde baru tadi maka mulai muncul radikalisasi grassroots protest movement. Dalam
konteks inilah muncul sentimen partisan di kalangan pendukung partai di akar
rumput. Ikatan emosional pendukung dengan partai makin kuat sejalan dengan
simbolisasi partai sebagai “partai wong cilik” atau “partai sandal jepit”.
Dalam perkembangan berikutnya, PDI Perjuangan juga menjadi wadah dari berbagai
aliansi lintas kelompok yang beroposisi dengan rezim Soeharto.
|
Karakteristik
|
Watak Dasar
|
Partisanship dan Voluntarisme
|
Sumber Dana Utama
|
Pendukung partai, baik yang menjadi anggota partai maupun simpatisan
|
Bentuk
|
1) Voluntary
donations berbentuk : natura maupun
inatura, serta,
2) Kerja-kerja politik yang dilakukan secara sukarela baik dalam
pengorganisasian partai maupun dalam kampanye pemilu
|
Strategi Penggalangan Dana
|
Mobilisasi donasi berdasarkan kegiatan, dengan membuka kotak /
rekening sumbangan, atau mendatangi donator secara “door to door”.
|
Sifat Pengelolaan Dana
|
Terdesentralisir dan swakelola, dimana unit-unit partai mengelola sendiri
dana yang telah dikumpulkannya.
|
Sifat Pengeluaran
|
Bersifat swadaya dan padat karya, dimana lebih banyak dari jenis
pengeluaran dipenuhi secara mandiri dan beberapa diantaranya disubstitusikan
dengan kerja-kerja sukarela.
|
Keruntuhan Pembiayaan
Gotong-Royong
Studi
ini memperlihatkan bahwa anomaly pembiayaan gotong royong adalah fenomena yang
temporer. Patahan sejarah dengan munculnya pembiayaan gotong royong ini
ternyata tidak mampu untuk menghasilkan perubahan institusional pembiayaan
partai. Pembiayaan gotong royong hanya sebuah retakan kecil yang tidak bertahan
lama. Studi ini menemukan bahwa keruntuhan pembiayaan ini disebabkan oleh dua
faktor yaitu :
1 1. Menguatnya
partai in the central office dibandingkan
partai on the ground sebagai
konsekuensi proses reorganisasi kekuasaan dalam tubuh partai. Reorganisasi PDIP
mengambil momentum saat Kongres Semarang tahun 2000. Reorganisasi itu
memperkuat kekuasaan elit untuk menguasai partai-partai in the central office. Dalam struktur partai yang semakin elitis,
maka dalam proses penggalangan dana, elit di central office cenderung bertindak mandiri dari partai on the ground. Kemandirian itu
ditunjukkan dengan lebih mengandalkan dari sumber eksternal partai.
2. Merosotnya
partisanship serta hilangnya
keswadayaan dalam partai on the ground.
Tanda-tanda menurunnya partisanship
dapat dilihat dari semakin lemahnya ikatan emosional antara warga di akar
rumput dengan partai. Ini merupakan bentuk distrust para pendukung partai
terhadap elit partai. Merosotnya partisanship
juga berimplikasi pada menurunnya tingkat keswadayaan warga untuk mendukung
kegiatan-kegiatan partai. Fenomena itu membuat peran partai on the ground dalam pembiayaan pemilu
semakin kecil.
[1]
Tulisan ini merupakan hasil pembacaan dan review dari buku : Dwipayana,
AAGN Ari. 2013. Pembiayaan Gotong Royong
: Studi tentang Dinamika Pembiayaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada
periode 1993-1999 (Ringkasan Desertasi). Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM :
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar