Sabtu, 29 Maret 2014

Pembiayaan Gotong-Royong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 1993-1999

Studi Kasus Pembiayaan Gotong-Royong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 1993-1999[1]


Pendahuluan
            Studi ini adalah studi mengenai pembiayaan gotong-royong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada periode 1993-1999. Studi ini diawali dengan kritik terhadap kajian pembiayaan partai yang telah ada. Kritik yang disebutkan mengatakan bahwa kajian yang ada selama ini bersifat ahistoris dan tidak kontekstual, sehingga gagal menjelaskan mengenai keberlanjutan institusi pembiayaan partai dalam alur kesejarahan. Studi ini memusatkan perhatian pada momen-momen kritis (critical juncture) yang membentuk patahan sejarah pembiayaan gotong-royong. Patahan sejarah yang dimaksud adalah kurun waktu dimana terjadi kondisi anomali, abnormalitas, dan exceptional dari model pembiayaan partai yang sudah melembaga dan menyejarah. Anomali ini terlihat dari munculnya pembiayaan grassroots protest movement (gerakan protes akar rumput). Pola pembiayaan gotong royong ini jelas berbeda dari kebiasaan, serta menyimpang dari rutinitas prosedur yang menjadi fondasi perilaku sebelumnya.
            Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih detail mengenai dinamika pembiayaan partai khususnya PDI Perjuangan, maka studi ini menggunakan pendekatan historical institutionalism. Dengan menggunakan pendekatan ini, dapat dilacak alur proses pembentukan dan perkembangan institusi pembiayaan partai, sampai pada bagaimana institusi tersebut mempengaruhi model pembiayaan PDI Perjuangan pasca Soeharto.

Pembiayaan Gotong Royong
            Studi ini menemukan bahwa pembiayaan gotong royong mulai muncul pada tahun 1993 sejalan dengan aksi oposisional (protes) yang dilakukan oleh PDI Pro Megawati. Pembiayaan Gotong Royong ini makin menguat seiring dengan membesarnya grassroots protest movement yang berlangsung pada tahun 1996-1999. Berikut adalah ciri dari pembiayaan gotong royong :
    1. Sumber pembiayaan utama berasal dari kontribusi para pendukung secara swadaya. Kontribusi ini dapat berbentuk barang atau uang. Semakin kuatnya pembiayaan dari pendukung maka tingkat ketergantungan pada sumber dana eksternal otomatis berkurang.
2  2. Pengeluaran partai dikonversi menjadi kerja-kerja politik yang dilakukan secara partisanship, dimana pendukung partai bekerja secara sukarela baik dalam pengorganisasian partai maupun dalam kampanye pemilu. Pengelolaan dana lebih banyak dilakukan secara desentralistik dan swakelola. Sehingga muncul model subsistem atau bahkan swasembada, dimana dalam setiap cabang-cabang partai bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri secara swadana dan swakelola.
     Mengapa pembiayaan gotong royong bisa muncul di tengah keberlanjutan sejarah  penggalangan dana negara ala partai kartel? Studi ini menemukan bahwa ada 2 faktor kunci yang membentuk pembiayaan gotong royong yaitu :
1    1. Terputusnya akses elit partai pada sumber dana negara, karena sepanjang tahun 1993-1996 PDI dibawah kepemimpinan Mega serta didukung oleh “arus bawah” melakukan perlawanan terhadap intervensi pemerintah pada partai mereka. Resistensi dari para aktivis ini menimbulkan reaksi balik dari rezim, dengan melakukan tindakan yang makin represif yaitu mulai dari tuduhan “tidak bersih lingkungan” sampai menggalang kongres tandingan untuk mengganti kepemimpinan Mega. Puncaknya adalah aksi Kudatuli 27 Juli 1996. Tindakan ini membuat penggalangan dana negara untuk membiayai partai berhenti dengan sendirinya. Elit partai pro Mega tidak mendapat subsidi dari negara, tidak seperti elit PDI pro pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, elit partai tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpaling pada dukungan akar rumput.
2    2. Menguatnya partisanship dari the party on the ground. Implikasi logis dari semakin represinya orde baru tadi maka mulai muncul radikalisasi grassroots protest movement. Dalam konteks inilah muncul sentimen partisan di kalangan pendukung partai di akar rumput. Ikatan emosional pendukung dengan partai makin kuat sejalan dengan simbolisasi partai sebagai “partai wong cilik” atau “partai sandal jepit”. Dalam perkembangan berikutnya, PDI Perjuangan juga menjadi wadah dari berbagai aliansi lintas kelompok yang beroposisi dengan rezim Soeharto.


Karakteristik
Watak Dasar
Partisanship dan Voluntarisme
Sumber Dana Utama
Pendukung partai, baik yang menjadi anggota partai maupun simpatisan
Bentuk
1)      Voluntary donations berbentuk : natura maupun inatura, serta,
2)      Kerja-kerja politik yang dilakukan secara sukarela baik dalam pengorganisasian partai maupun dalam kampanye pemilu
Strategi Penggalangan Dana
Mobilisasi donasi berdasarkan kegiatan, dengan membuka kotak / rekening sumbangan, atau mendatangi donator secara “door to door”.
Sifat Pengelolaan Dana
Terdesentralisir dan swakelola, dimana unit-unit partai mengelola sendiri dana yang telah dikumpulkannya.
Sifat Pengeluaran
Bersifat swadaya dan padat karya, dimana lebih banyak dari jenis pengeluaran dipenuhi secara mandiri dan beberapa diantaranya disubstitusikan dengan kerja-kerja sukarela.


Keruntuhan Pembiayaan Gotong-Royong
            Studi ini memperlihatkan bahwa anomaly pembiayaan gotong royong adalah fenomena yang temporer. Patahan sejarah dengan munculnya pembiayaan gotong royong ini ternyata tidak mampu untuk menghasilkan perubahan institusional pembiayaan partai. Pembiayaan gotong royong hanya sebuah retakan kecil yang tidak bertahan lama. Studi ini menemukan bahwa keruntuhan pembiayaan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu :
1   1. Menguatnya partai in the central office dibandingkan partai on the ground sebagai konsekuensi proses reorganisasi kekuasaan dalam tubuh partai. Reorganisasi PDIP mengambil momentum saat Kongres Semarang tahun 2000. Reorganisasi itu memperkuat kekuasaan elit untuk menguasai partai-partai in the central office. Dalam struktur partai yang semakin elitis, maka dalam proses penggalangan dana, elit di central office cenderung bertindak mandiri dari partai on the ground. Kemandirian itu ditunjukkan dengan lebih mengandalkan dari sumber eksternal partai.
   2. Merosotnya partisanship serta hilangnya keswadayaan dalam partai on the ground. Tanda-tanda menurunnya partisanship dapat dilihat dari semakin lemahnya ikatan emosional antara warga di akar rumput dengan partai. Ini merupakan bentuk distrust para pendukung partai terhadap elit partai. Merosotnya partisanship juga berimplikasi pada menurunnya tingkat keswadayaan warga untuk mendukung kegiatan-kegiatan partai. Fenomena itu membuat peran partai on the ground dalam pembiayaan pemilu semakin kecil.

[1] Tulisan ini merupakan hasil pembacaan dan review dari buku : Dwipayana, AAGN Ari. 2013. Pembiayaan Gotong Royong : Studi tentang Dinamika Pembiayaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada periode 1993-1999 (Ringkasan Desertasi). Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM : Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar