Sabtu, 29 Maret 2014

Studi Kelayakan Bisnis (Proyek)

Studi kelayakan peroyek atau bisnis adalah penelitihan yang menyangkut berbagai aspek baik itu dari aspek hukum, sosial ekonomi dan budaya, aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologi sampai dengan aspek manajemen dan keuangannya, dimana itu semua digunakan untuk dasar penelitian studi kelayakan dan hasilnya digunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu proyek atau bisnis dapat dikerjakan atau ditunda dan bahkan tidak dijalankan.
Studi kelayakan sangat diperlukan oleh banyak kalangan, khususnya terutama bagi para investor yang selaku pemrakarsa, bank selaku pemberi kredit, dan pemerintah yang memberikan fasilitas tata peraturan hukum dan perundang-undangan, yang tentunya kepentingan semuanya itu berbeda satu sama lainya. Investor berkepentingan dalam rangka untuk mengetahui tingkat keuntungan dari investasi, bank berkepentingan untuk mengetahui tingkat keamanan kredit yang diberikan dan kelancaran pengembaliannya, pemerintah lebih menitik-beratkan manfaat dari investasi tersebut secara makro baik bagi perekonomian, pemerataan kesempatan kerja, dan lain-lain.
                  Mengingat bahwa kondisi yang akan datang dipenuhi dengan ketidakpastian, maka diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu karena di dalam studi kelayakan terdapat berbagai aspek yang harus dikaji dan diteliti kelayakannya sehingga hasil daripada studi tersebut digunakan untuk memutuskan apakah sebaiknya proyek atau bisnis layak dikerjakan atau ditunda atau bahkan dibatalkan. Hal tersebut di atas adalah menunjukan bahwa dalam studi kelayakan akan melibatkan banyak tim dari berbagai ahli yang sesuai dengan bidang atau aspek masing-masing seperti ekonom, hukum, psikolog, akuntan, perekayasa teknologi dan lain sebagainya. Studi kelayakan biasanya digolongkan menjadi dua bagian yang berdasarkan pada orientasi yang diharapkan oleh suatu perusahaan yaitu berdasarkan orientasi laba, yang dimaksud adalah studi yang menitik-beratkan pada keuntungan yang secara ekonomis, dan orientasi tidak pada laba (social), yang dimaksud adalah studi yang menitik-beratkan suatu proyek tersebut bisa dijalankan dan dilaksanakan tanpa memikirkan nilai atau keuntungan ekonomis.

Daftar Pustaka :
Ibrahim, H.M. Yacob. 2009. Studi Kelayakan Bisnis (Edisi Revisi). Penerbit Rineka Cipta : Jakarta.

Break Even Point (Titik Impas)

Dalam ilmu ekonomi, terutama akuntansi biaya, titik impas (break even point) adalah sebuah titik dimana biaya atau pengeluaran dan pendapatan adalah seimbang sehingga tidak terdapat kerugian atau keuntungan. Untuk menghitungnya bisa menggunakan rumus :
A. Rumus-berdasar unit
dengan:
TR : Pendapatan total/Total Revenue
TC : Biaya total/Total Cost
TFC: Biaya tetap total
P :Harga
V :Biaya variabel per unit

B. Rumus berdasar nilai

             FC
  BEP = --------------
           1 - VC
                P
              
dengan
FC : Biaya Tetap
P : Harga jual per unit
                VC : Biaya Variabel per unit

Daftar Pustaka
Hanafi, Mamduh M. 2004. Manajemen Keuangan (Edisi 1). Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) UGM : Yogyakarta.
Kasmir. 2010. Analisis Laporan Keuangan. Rajawali Press : Jakarta.
Margaretha, Farah. 2005. Teori dan Aplikasi Manajemen Keuangan : Investasi dan Sumber Dana Jangka Pendek. Penerbit Grasindo : Jakarta.

Retail dan Manajemen Retail

Retail dan Manajemen Retail
Secara etimologis, kata Ritel berasal dari bahasa Perancis RITELLIER yang berarti memecah sesuatu. Secara harfiah, kata ritel atau retail juga dapat diartikan eceran atau perdagangan eceran. Sementara, peritel atau retailer diartikan sebagai pengusaha perdagangan eceran. Berman dan Evans dalam Sujana (2003), mendefinisikan kata retail dalam kaitannya dengan manajemen retail sebagai “those business activities involved in the sale of goods and services to consumers for their personal, family, or household use”.
Ritel menjalankan beberapa fungsi dalam perekonomian sebuah Negara. Menurut Sujana (2012), retail menjalankan fungsi-fungsi berikut :
1.      Menyediakan berbagai macam produk dan jasa
2.      Memecah (breaking bulk)
3.      Menyimpan persediaan
4.      Meningkatkan nilai produk dan jasa
Pada umumnya bisnis retail dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok besar yaitu, Retail Tradisional (Traditional Retail) dan Retail Modern (Modern Retail). Pada dasarnya, ritel modern merupakan pengembangan dari ritel tradisional. Lebih jauh Sujana (2012) menjelaskan bahwa peningkatan kemakmuran ekonomi berpengaruh pada perubahan tren perilaku konsumen. Kecenderunagn perilaku konsumen ini kemudian mendorong peritel untuk melakukan perubahan-perubahan yang ditujukan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga memberikan kenyamanan (convenience) serta kemudahan berbelanja bagi konsumen.
Semakin banyak konsumen yang lebih suka berbelanja di retail-retail modern didorong oleh beberapa alasan sebagai berikut :
1.      Lokasi
Para peritel modern berkompetisi untuk membangun gerai-gerai di lokasi yang strategis. Beberapa format minimarket memilih untuk membuka gerai di kawasan padat penduduk. Sementara format hypermarket lebih banyak memilih lokasi pusat kota atau pusat bisnis.
2.      Pelayanan (Service)
Pelayanan didefinisikan sebagai aktivitas, manfaat, kepuasan dari suatu yang ditawarkan dalam penjualan.
3.      Fasilitas Fisik
Fasilitas fisik mempunyai peran penting untuk memposisikan gerai ritel dalam benak konsumen.
4.      Harga (Pricing)
Harga yang ditawarkan di retail adalah harga tetap yang tidak dapat ditawar-tawar oleh konsumen.
5.      Promosi
Promosi merupakan bentuk kegiatan untuk mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku konsumen terhadap gerai ritel dengan segala penawarannya.
6.      Keragaman Produk (Assortment)
Hampir segala kebutuhan sehari-hari dapat ditemukan di gerai-gerai ritel.


Daftar Pustaka :
Foster, Bob. 2008. Manajemen Ritel. Penerbit Alfabeta : Bandung.
Kanjaya dan Susilo. 2010. Retail Rules : Melihat Keunggulan dan Potensi Bisnis Ritel Makanan di Masa Depan. Penerbit Esensi : Jakarta.
Sujana, Asep ST. 2012. Manajemen Minimarket. Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Group) : Depok.

SEJARAH PEMIKIRAN DAN PRAKTIK KUNO ADMINISTRASI NEGARA (PUBLIK)


Latar Belakang
            Perkembangan Ilmu Administrasi Negara atau yang kini kita lebih akrab dengan sebutan Administrasi Publik, mengalami maju mundur seiring dengan berjalannya waktu. Berbagai dinamika muncul terkait perubahan dan pergeseran paradigma dalam ilmu ini. Pengetahuan dan pemikiran mengenai Administrasi Negara tidak hanya berasal dari sumbangan pemikiran Bapak Administrasi Negara Woodrow Wilson ataupun ahli manajemen klasik lainnya seperti Henry Fayoll dan Frederick Taylor. Namun jauh sebelum mereka ada, praktik-praktik Administrasi Negara justru telah lama lahir dan diimplementasikan oleh manusia-manusia yang berasal dari peradaban kuno. Makalah ini akan berusaha memaparkan mengenai sejarah praktik dan pemikiran kuno Administrasi Negara dengan mengambil beberapa contoh kasus peradaban Mesir, Cina (Tiongkok), Yunani, Romawi, Mesopotamia, Perancis, dan Babilonia.

Tujuan Penulisan
Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk menjelaskan bagaimana sejarah pemikiran dan praktik kuno Administrasi Negara (Publik).

Metode Penulisan dan Pengumpulan Data
            Tulisan ini disusun dengan metode kualitatif deskriptif yang bersifat menggambarkan serta memaparkan sebuah topik atau bahasan dengan kasus khusus. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi data. Data yang dikumpul berasal dari buku teks dan artikel internet.

PEMBAHASAN

Meskipun literatur kuno yang langsung berkaitan dengan nama “Administrasi Publik” kurang begitu banyak ditemukan, namun sesungguhnya cukup banyak literature yang berkenaan dengan filsafat kenegaraan, hukum, dan politik seperti buku pemikiran Confucius, Plato, Aristoteles, Machiavelli, de Montesquieu, Rousseau, Bonnin, Hegel, Vivien, dan Mill yang secara tidak langsung menggambarkan telah berkembangnya disiplin Administrasi Publik, bahkan telah ada perhatian khusus terhadap pengembangan disiplin tersebut (Martin dalam Keban, 2008 : 29).
Melalui analisis sejarah dapat dilacak dan diketahui bahwa kira-kira tahun 1300 SM bangsa mesir telah mengenal Administrasi, Max webber “Mesir sebagai satu-satunya Negara paling Tua yang memiliki Administrasi Birokratik”. Demikian juga tiongkok kuno, dapat diketahui tentang konstitusi Chow yang dipengaruhi oleh ajaran Confucius dalam “administrasi Pemerintahan”. Yunani (430 SM) dengan susunan kepengurusan Negara yang demokratis, Romawi dengan “de ofiis” dan “de Legibus”nya Marcus Tullius Cicero dan abad 17 di perusia, Austria, Jerman, dan Prancis dengan Kameralis yang mengembangkan Administrasi Negara, Misalnya : Sistem Pembukuan dalam hal administrasi keuangan Negara, Markantilis (sentralisasi Ekonomi dan politik) dan Kaum Fisiokrat yang berpengaruh selama kurun waktu1550 – 1700an.[1]

Mesir dan Mesopotamia
Jatnodiprojo (1988) melakukan periodisasi perkembangan dan pertumbuhan administrasi menjadi 3 fase. Diantara ketiga fase tersebut maka fase pertama (fase prasejarah) adalah fase dimana pemikiran dan praktik kuno Administrasi Negara ini berlangsung. Fase ini berakhir pada tahun 1 tarikh masehi dan dalam fase ini kita bisa melihat bukti dari administrasi sebagai suatu seni ketika kita melihat adanya suatu hubungan kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam menentukan tujuan. Bukti konkrit dari administrasi dalam fase ini adalah adanya bangunan Piramid Cheops yang dioperkirakan dibuat pada tahun 3000 sebelum masehi, Piramid tesebut merupakan sebuah proyek yang luar biasa besarnya yang tidak mungkin dikerjakan oleh satu orang saja tapi melibatkan ratusan ribu tenaga kerja, dan tentunya memerlukan proses perencanaan, pengorganisasian, dan penggerakan serta kordinasi kepemimpinan. Bukti lainnya adalah sistem desentralisasi dan penggunaan staf penasehat pada 2000 tahun SM, peninggalan sejarah berupa Paramida yang diperkirakan 100.000 orang selama 20 tahun, pekerjaan ini butuh sistemadministrasi yang handal. Di Mesir Aspek yang berkembang pesat ialah di bidang pemerintah militer, perpajakan, perhubungan, pertanian dan irigasi. Max Webber, seorang sosiolog berkebangsaan Jerman yang terkemuka pada zamannya, meyakini Mesir sebagai satu-satunya Negara yang paling tua yang memiliki administrasi birokratik. Demikian juga di Tiongkok kuno, dapat diketahui tentang konstitusi Chow yang dipengaruhi oleh ajaran Confucius dalam “Administrasi Pemerintahan”. Dari Yunani (430 SM) dengan susunan kepengurusan Negara yang demokratis. Administrasi juga nanpak pada masa peradaban Mesopotamia, Babilonia, Tiongkok kuno, Romawi dan Yunani kuno yang dibuktikan pada berbagai sistem seperti sistem pemerintahan, hukum, kepegawaian dan perdagangan. melalui analisis sejarah dapat dilacak dan diketahui bahwa pada kira-kira tahun 1300 SM, bangsa Mesir telah mengenal Administrasi.
Mesopotamia telah menjalankan sebagian prinsip-prinsip administrasi dan manajemen terutama bidang pemerintahan, perdagangan, komunikasi, Pengangkutan (pengangkutan sungai), dan telah digunakannya logam sebagai alat tukar menukar, alat ukur dan hitung yang sudah barang tentu memperlancar perdagangan. Masyarakat Mesopotamia telah menggunakan sejenis logam sebagai alat tukar menukar yang sah yang pada gilirannya sangat memperlancarkan jalannya kegiatan dan administrasi perdagangan.

Yunani Kuno
Salah satu sumbangan besar peradaban Yunani kuno pada dunia adalah pengembangan konsep tentang demokrasi. Ciri khas sistem administrasi Yunani kuno adalah bahwa setiap orang yang memnuhi persyaratan sebagai ‘rakyat’ paling sedikit sekali dalam hidupnya harus menjadi pegawai negeri yang mengabdi kepada negara tanpa bayaran. Dalam karya terakhir Plato berjudul “The Laws”, Plato mengungkapkan tentang praktek-praktek administrasi pemerintahan Yunani Kuno. Plato membagi administrasi ke dalam tiga cabang yaitu pengawas kota, pengawas agora, dan pengawas tempat ibadah. Ia menggambarkan bagaimana menentukan jumlah pengawas, dan metode melakukan seleksi sebelum bekerja, termasuk menentukan tugas dan kewajibannya, serta sangsi yang diterapkan kepada mreka bila mereka melakukan pelanggaran. Kemudian Aristoteles dalam “Politics” dan “On the Anthenian Constitution” menambahkan satu jenis pengawas lagi yaitu pengawas daerah pedalaman. Seperti Plato, ia juga memberikan perhatian lebih banyak kepada metode pemilihan atau seleksi para pegawai atau pengawas tersebut (Keban, 2008 : 29).

Babilonia
Pada masa Babilonia, telah diterapkan administrasi dibidang pemerintahan, perdagangan, komunikasi, dan pengangkutan. Sistem administrasi di bidang teknologi juga telah berhasil dengan adanya taman tergantung. Dalam Code Of Hammurabi dikembangkan manajerial guide line were setforth, pentingnya effective leader style, dalam didirikan menara babel setinggi 650 Feet tampak Magnificient structures were erected, productionand inventory control was employed.[2]

Cina (Tiongkok) Kuno
Dalam peradaban Cina, kira-kira pada tahun 1100 SM cina telah menyadari perlunya perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan. Salah saru pemikiran Confucius yang kemudian disampaikan oleh murid-muridnya adalah tentang prinsip administrasi yang baik. Di dalam prinsip tersebut Confucius mengajarkan bahwa pelayan public harus memiliki moralitas yang baik. Pihak yang memerintah dan anak buahnya yang melayani memiliki hubungan paternalistic yang baik, memberikan contoh baik kepada pihak yang diperintah (Keban, 2008 : 29). Melalui confucion dengan administrasi kepegawaian tiongkok kuno dan Chow yang juga menjabat sebagai perdana mentri berhasil menciptakan apa yang disebut UUD Chow. Perkembangan Administrasi di Cina dapat dijelaskan dari urutan dinasti di bawah ini :[3]
1.      Dinasti Zhou (570 SM – 470 SM)
Ø  Pemikir : Lao Tzu
Ø  Kontribusi : Menciptakan pemikiran bahwa pemerintahan sebuah negara bergantung pada keutamaan bahwa kesejahteraan, tetapi kesengsaraan.
Ø  Bukti : Mandat Langit.
2.      Dinasti Xia & Song (470 SM – 390 SM)
Ø  Pemikir : Mo Ti
Ø  Kontribusi :
a.       Memperkenalkan pendekatan sistem dalam administrasi bisnis.
b.      Memperkenalkan pandangan politik sosialisme di dunia
c.       Memberikan sumbangan berharga dalam perbaikan adinistrasu pertanian / administrasi pada rakyat.
Ø  Bukti : Administrasi militer.
3.      Dinasti Han (219 SM – 202 SM)
Ø  Pemikir : Conficius
Ø  Kontribusi :
a.       Memberikan landasan  harmonisasi  organisasi yang telah dicapai melalui kebajikan tingkat individual dan masyarakat (memberi sumbangan pada prilaku & pengembangan organisasi.
b.      Memberi sumbangan pemikiran terhadap figur dan administrator yang baik (dimensi nilai & prilaku)
c.       Memberi penekanan nilai, etika, dan moral sebagai batas  berprilaku pemimpin & pejabat pemerintahan (moral lebih penting dari hukum).
Ø  Bukti : The Rules of Administration
4.      Dinasti Qin (221 SM – 206 SM)
Ø  Pemikir : Chow
Ø  Konstribusi : Administrasi Kepegawaian
Ø  Bukti : The Constitution of Chow

Romawi Kuno
Pada masa Romawi, dipelopori oleh Cicero dalam buku “de officiis” dan “de Legibus” (the Law) dijelaskan tentang pemerintahan romawi yang berhasil memerintah dan menguasai daerah yang luas dengan bagi-bagi tugas pemerintahan dalam departemen-departemen yang disebut “Mangitrates” yang dipimpin oleh magistrator. Disamping itu ada administrasi perhubungan, administrasi perpajakan. Oleh deocletian, struktur empire diorganisasi dan dibagi dalam 100 Provinsi. Organisasi militer juga menyumbang perkembangan studi administrasi, penggunaan staf, keseragaman cara dalam pelaksanaan tugas tugas, penerapan disiplin, bahkan pernah digunakan oleh Alexander agung, Hannibal (182 SM), Caesar, dan Napoleon.[4]

Perancis Kuno
Niccolo Machiavelli dalam bukunya “The Prince” khususnya pada bab 22 dan 23 mengungkapkan betapa pentingnya memiliki pelayan-pelayan publik yang mampu membantu raja. Para pelayan atau pembantu tersebut harus selalu dipuji agar produktivitas tetap tinggi. Sementara itu, de Montesquieu dalam “The Spirit of Laws” mengungkapkan perbedaan antara sistem hukum dan administrasi dimana sistem administrasi lebih difokuskan kepada fungsi regulasi karena mengandalkan pedoman-pedoman operasional, sedangkan sistem hukum lebih menekankan aturan-aturan hukum yang berlaku (Keban, 2008 : 29 – 30).
Jean Jacques Rousseau dalam “The Social Contract” berpendapat bahwa ketika negara menajdi bertambah besar, beban administrasi menajdi lebih besar pula karena harus menagih pajak dari seluruh wilayah negara dalam rangka mendukung kegiatan administrator di berbagai tingkatan. Fungsi koordinasi pusat menajdi lebih kompleks, dan beban administrasi seperti ini kemudian memberi dampak negatif kepada masyarakat karena negara seakan diperintah oleh para pegawai tata usaha (clerk) (Keban, 2008 : 30).
      Dalam bukunya “Principles d’administration publique”, Charles-Jean Baptiste Bonnin mengungkapkan bahwa administrasi publik merupakan subyek yang sangat penting bagi negara Perancis karena itu ia mengusulkan prinsip-prinsip administrasi public khususnya bagi Perancis yang mencapai 68 prinsip. Sayangnya buku ini tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris sehingga ketika para ahli menulis tentang prinsip-prinsip administrasi publik di pertengahan abad 20an buku ini tidak dijadikan rujukan atau referensi. Dalam tulisannya ia juga mengusulkan untuk melakukan training khusus di bidang administrasi. Ia melihat politik sebagai ilmu semata sedangkan administrasi tidak saja sebagai ilmu tapi juga sebagai seni. Dan sebagai seni, administrasi lebih sulit dipelajari dank arena itu lebih mendesak dan lebih penting melatih para administrator. Menurutnya, administrasi tidak saja membutuhkan keahlian dalam menggunakan teknik-teknik tertentu tetapi juga moralitas dalam melayani negara (Keban, 2008 : 30).




[1] Dikutip dari http://lovehero.wordpress.com/2008/12/21/sejarah-perkembangan-ilmu-administrasi/ diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 12.00 WIB.
[2] Dikutip dari http://halimah-stmikdw.blogspot.com/2012/06/sejarah-administrasi.html diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 09.35 WIB.
[3] Dikutip dari http://lovehero.wordpress.com/2008/12/21/sejarah-perkembangan-ilmu-administrasi/ diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 12.00 WIB.
[4] Dikutip dari http://halimah-stmikdw.blogspot.com/2012/06/sejarah-administrasi.html diakses pada tanggal 17 Maret 2014 pukul 09.30 WIB.

Pembiayaan Gotong-Royong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 1993-1999

Studi Kasus Pembiayaan Gotong-Royong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 1993-1999[1]


Pendahuluan
            Studi ini adalah studi mengenai pembiayaan gotong-royong Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada periode 1993-1999. Studi ini diawali dengan kritik terhadap kajian pembiayaan partai yang telah ada. Kritik yang disebutkan mengatakan bahwa kajian yang ada selama ini bersifat ahistoris dan tidak kontekstual, sehingga gagal menjelaskan mengenai keberlanjutan institusi pembiayaan partai dalam alur kesejarahan. Studi ini memusatkan perhatian pada momen-momen kritis (critical juncture) yang membentuk patahan sejarah pembiayaan gotong-royong. Patahan sejarah yang dimaksud adalah kurun waktu dimana terjadi kondisi anomali, abnormalitas, dan exceptional dari model pembiayaan partai yang sudah melembaga dan menyejarah. Anomali ini terlihat dari munculnya pembiayaan grassroots protest movement (gerakan protes akar rumput). Pola pembiayaan gotong royong ini jelas berbeda dari kebiasaan, serta menyimpang dari rutinitas prosedur yang menjadi fondasi perilaku sebelumnya.
            Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih detail mengenai dinamika pembiayaan partai khususnya PDI Perjuangan, maka studi ini menggunakan pendekatan historical institutionalism. Dengan menggunakan pendekatan ini, dapat dilacak alur proses pembentukan dan perkembangan institusi pembiayaan partai, sampai pada bagaimana institusi tersebut mempengaruhi model pembiayaan PDI Perjuangan pasca Soeharto.

Pembiayaan Gotong Royong
            Studi ini menemukan bahwa pembiayaan gotong royong mulai muncul pada tahun 1993 sejalan dengan aksi oposisional (protes) yang dilakukan oleh PDI Pro Megawati. Pembiayaan Gotong Royong ini makin menguat seiring dengan membesarnya grassroots protest movement yang berlangsung pada tahun 1996-1999. Berikut adalah ciri dari pembiayaan gotong royong :
    1. Sumber pembiayaan utama berasal dari kontribusi para pendukung secara swadaya. Kontribusi ini dapat berbentuk barang atau uang. Semakin kuatnya pembiayaan dari pendukung maka tingkat ketergantungan pada sumber dana eksternal otomatis berkurang.
2  2. Pengeluaran partai dikonversi menjadi kerja-kerja politik yang dilakukan secara partisanship, dimana pendukung partai bekerja secara sukarela baik dalam pengorganisasian partai maupun dalam kampanye pemilu. Pengelolaan dana lebih banyak dilakukan secara desentralistik dan swakelola. Sehingga muncul model subsistem atau bahkan swasembada, dimana dalam setiap cabang-cabang partai bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri secara swadana dan swakelola.
     Mengapa pembiayaan gotong royong bisa muncul di tengah keberlanjutan sejarah  penggalangan dana negara ala partai kartel? Studi ini menemukan bahwa ada 2 faktor kunci yang membentuk pembiayaan gotong royong yaitu :
1    1. Terputusnya akses elit partai pada sumber dana negara, karena sepanjang tahun 1993-1996 PDI dibawah kepemimpinan Mega serta didukung oleh “arus bawah” melakukan perlawanan terhadap intervensi pemerintah pada partai mereka. Resistensi dari para aktivis ini menimbulkan reaksi balik dari rezim, dengan melakukan tindakan yang makin represif yaitu mulai dari tuduhan “tidak bersih lingkungan” sampai menggalang kongres tandingan untuk mengganti kepemimpinan Mega. Puncaknya adalah aksi Kudatuli 27 Juli 1996. Tindakan ini membuat penggalangan dana negara untuk membiayai partai berhenti dengan sendirinya. Elit partai pro Mega tidak mendapat subsidi dari negara, tidak seperti elit PDI pro pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, elit partai tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpaling pada dukungan akar rumput.
2    2. Menguatnya partisanship dari the party on the ground. Implikasi logis dari semakin represinya orde baru tadi maka mulai muncul radikalisasi grassroots protest movement. Dalam konteks inilah muncul sentimen partisan di kalangan pendukung partai di akar rumput. Ikatan emosional pendukung dengan partai makin kuat sejalan dengan simbolisasi partai sebagai “partai wong cilik” atau “partai sandal jepit”. Dalam perkembangan berikutnya, PDI Perjuangan juga menjadi wadah dari berbagai aliansi lintas kelompok yang beroposisi dengan rezim Soeharto.


Karakteristik
Watak Dasar
Partisanship dan Voluntarisme
Sumber Dana Utama
Pendukung partai, baik yang menjadi anggota partai maupun simpatisan
Bentuk
1)      Voluntary donations berbentuk : natura maupun inatura, serta,
2)      Kerja-kerja politik yang dilakukan secara sukarela baik dalam pengorganisasian partai maupun dalam kampanye pemilu
Strategi Penggalangan Dana
Mobilisasi donasi berdasarkan kegiatan, dengan membuka kotak / rekening sumbangan, atau mendatangi donator secara “door to door”.
Sifat Pengelolaan Dana
Terdesentralisir dan swakelola, dimana unit-unit partai mengelola sendiri dana yang telah dikumpulkannya.
Sifat Pengeluaran
Bersifat swadaya dan padat karya, dimana lebih banyak dari jenis pengeluaran dipenuhi secara mandiri dan beberapa diantaranya disubstitusikan dengan kerja-kerja sukarela.


Keruntuhan Pembiayaan Gotong-Royong
            Studi ini memperlihatkan bahwa anomaly pembiayaan gotong royong adalah fenomena yang temporer. Patahan sejarah dengan munculnya pembiayaan gotong royong ini ternyata tidak mampu untuk menghasilkan perubahan institusional pembiayaan partai. Pembiayaan gotong royong hanya sebuah retakan kecil yang tidak bertahan lama. Studi ini menemukan bahwa keruntuhan pembiayaan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu :
1   1. Menguatnya partai in the central office dibandingkan partai on the ground sebagai konsekuensi proses reorganisasi kekuasaan dalam tubuh partai. Reorganisasi PDIP mengambil momentum saat Kongres Semarang tahun 2000. Reorganisasi itu memperkuat kekuasaan elit untuk menguasai partai-partai in the central office. Dalam struktur partai yang semakin elitis, maka dalam proses penggalangan dana, elit di central office cenderung bertindak mandiri dari partai on the ground. Kemandirian itu ditunjukkan dengan lebih mengandalkan dari sumber eksternal partai.
   2. Merosotnya partisanship serta hilangnya keswadayaan dalam partai on the ground. Tanda-tanda menurunnya partisanship dapat dilihat dari semakin lemahnya ikatan emosional antara warga di akar rumput dengan partai. Ini merupakan bentuk distrust para pendukung partai terhadap elit partai. Merosotnya partisanship juga berimplikasi pada menurunnya tingkat keswadayaan warga untuk mendukung kegiatan-kegiatan partai. Fenomena itu membuat peran partai on the ground dalam pembiayaan pemilu semakin kecil.

[1] Tulisan ini merupakan hasil pembacaan dan review dari buku : Dwipayana, AAGN Ari. 2013. Pembiayaan Gotong Royong : Studi tentang Dinamika Pembiayaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada periode 1993-1999 (Ringkasan Desertasi). Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM : Yogyakarta.