Senin, 15 Juli 2013

Dinamika Politik Menjelang Pemilu 2014 : Krisis Demokrasi Elektoral





Sumber gambar : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.lazuardibirru.org/wp-content/uploads/2013/06/basa-sumber-genderuwota48.com_.jpg&imgrefurl=http://www.lazuardibirru.org/berita/kolom/basa-basi-pengaturan-dana-kampanye/&usg=__c0UIpAp11UKDW_epq5Yny2JfBTs=&h=1271&w=1696&sz=231&hl=id&start=7&sig2=MvlIh-5eZfYI_XS0_rLfaw&zoom=1&tbnid=c8gBGt_JgS4tNM:&tbnh=112&tbnw=150&ei=4UvkUfeaGsONrgfhioGwDw&um=1&itbs=1&sa=X&ved=0CDYQrQMwBg

Studi mengenai pemilu merupakan salah satu kajian dalam studi Ilmu Politik. Sebagai sebuah kajian, pemilu berkaitan dengan berbagai hal terkait dengan sistem pemilihan pemimpin atau yang sering kita sebut sebagai kepala daerah. Sebagai Sebuah sistem, pemilu adalah salah satu dari indikator adanya demokrasi di sebuah negara. Pemilu juga digunakan sebagai salah satu indikator berjalannya demokrasi di sebuah negara, mencakup apakah demokrasi mampu diterima sebagai sebuah sistem politik dan juga mencakup apakah implementasi demokrasi telah terlaksana sebagaimana prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri.

Demokrasi dan Pemilu
            Secara sederhana, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sehingga, rakyatlah yang berhak membentuk pemerintahan untuk kepentingan dirinya sendiri. Selain itu, demokrasi juga menghendaki bahwa pemerintahan yang terbentuk harus berorientasi pada pelayanan dan pemenuhan kebutuhan rakyat banyak. Dalam penerapan demokrasi, akan muncul satu pertanyaan besar yaitu bagaimana konsep demokrasi yang ideal itu dilaksanakan? Disinilah konsep pemilu diimplementasikan, karena demokrasi memerlukan pemilu sebagai alat implementasi dari prinsip-prinsip dasar berjalannya demokrasi.
            Saat ini, hampir semua rezim politik mengklaim dirinya sebagai penganut demokrasi sebagai sebuah pilihan untuk menata sistem politik. Hampir semua para pemimpin politik dunia mengaku sebagai seorang demokrat yang memperjuangkan demokrasi. Untuk kasus ini, demokrasi telah membuktikan dirinya mampu mengatasi perbedaan dan pertentangan antar kekuatan politik secara damai. Demokrasi telah berhasil mengorganisasi, mengaktualisasi, dan menegosiasi perbedaan dan pertentangan politik, yang dalam sejarah terjadi pada masa-masa abad ke 18, 19, dan 20. Perang besar antar negara yang menghasilkan dua kali Perang Dunia sebagai akibat dari pertentangan politik, telah berhasil diredam oleh sistem demokrasi, sehingga kini tiada lagi kekhawatiran akan pecahnya perang besar.
            Demokrasi memiliki kelebihan dibandingkan rezim politik lainnya, berikut adalah beberapa diantaranya :
  1. Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik.
  2. Demokrasi menjamin bagi WN sejumlah hak asasi yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem-sistem lain.
  3. Demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas bagai WN daripada sistem lain.
  4. Demokrasi membantu WN untuk melindungi kepentingan pokok mereka.
  5. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi WN untuk menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri.
  6. Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral.
  7. Demokrasi membantu perkembangan manusia lebih total daripada alternatif sistem lain.
  8. Hanya pemerintah yang demokratis yang dapat membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
  9. Negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak pernah berperang satu sama lain.
  10. Negara-negara dengan pemerintahan yang demokratis cenderung lebih makmur daripada negara-negara dengan pemerintahan yang tidak demokratis.

Sebagai sebuah sistem, demokrasi memiliki beberapa syarat implementasi. Syarat-syarat inilah yang menjadi salah satu indikator berjalannya demokrasi :
1.      Para pejabat yang dipilih.
2.      Pemilu yang bebas.
3.      Hak untuk memilih yang inklusif.
4.      Hak dipilih atau dicalonkan dalam pemilu.
5.      Hak mendapat informasi alternatif.
6.      Kebebasan berserikat.

Pemilu sebagai sebuah cara menata sistem, memerlukan pemilu sebagai alat untuk mengimplementasikan sistemnya. Demokrasi membutuhkan pemilu, sebab hanya pemilu yang memungkinkan bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya untuk duduk di pemerintahan (baik sebagai anggota legislatif maupun pimpinan eksekutif), dan sekaligus menghukum mereka yang tidak profesional dalam mengemban amanat rakyat, dengan cara tidak memilihnya (kembali).
            Dari sisi rakyat, pemilu adalah mekanisme pendelegasian kedaulatan rakyat kepada mereka yang hendak memegang kekuasaan di pemerintahan. Dari sisi elit, pemilu adalah mekanisme pergantian pemegang kekuasaan, secara periodik, dan tertib. Pemilu juga bisa diartikan sebagai mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan kepentingan dari masyarakat kedalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab. Secara normatif, pemilu diartikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pemilu memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah :
      Keterwakilan Politik : Pemilu adalah sarana untuk memilih wakil-wakil dari kelompok masyarakat yang berbeda-beda (ideologi, oritensi politik, suku, ras, agama, dll), sehingga lembaga perwakilan rakyat benar-benar mencerminkan kondisi masyarakatnya
      Integrasi Nasional : Pemilu adalah sarana untuk mengkanalisasi perbedaan-perbedaan kepentingan yang ada di dalam masyarakat, sehingga potensi konflik dapat diredam dan disalurkan secara efektif lewat lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
      Pemerintahan Efektif : Pemilu adalah sarana untuk membentuk pemerintahan yang efektif, karena pejabat-pejabat yang terpilih mendapat dukungan nyata (legitimasi) dari masyarakat.


Sumber gambar : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://1.bp.blogspot.com/_FT9lZoExYvA/SaDLoesBc5I/AAAAAAAAADM/ulYHAmPf_Vc/s400/sistem-pemilu-skema.png&imgrefurl=http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html&usg=__IYq2kuL96Ysc7pIIUbO0I6lTTvU=&h=168&w=400&sz=39&hl=id&start=5&sig2=KZ4SONDlLeJ6L9HKSZuvqg&zoom=1&tbnid=mhPt5y2vp138BM:&tbnh=52&tbnw=124&ei=4UvkUfeaGsONrgfhioGwDw&um=1&itbs=1&sa=X&ved=0CDIQrQMwBA
Pemilu yang baik adalah pemilu yang berjalan searah dengan pelaksanaan demokrasi. Berikut adalah parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis :
  1. Ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap tahapan pemilu dirumuskan berdasarkan asas-asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, akuntabel, dan edukatif.
  2. Ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap tahapan pemilu terdapat kepastian hukum (predictable procedures), yaitu: mengatur semua hal yang perlu diatur (tidak ada kekosongan hukum), ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain tidak saling bertentangan (konsisten), dan ketentuan yang mengandung makna tunggal (tidak multitafsir).
  3. Ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap tahapan pemilu dan sistem pendukungnya bersifat efektif (mencapai tujuan yang ditetapkan), dan efesien (baik dalam prosedur, jangka waktu, sarana, tenaga, dan biaya).
  4. Ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap tahapan terdapat sistem pengawasan guna menjamin pemilu berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga proses dan hasil pemilu mencapai integritas tinggi.

Menjelang 2014, suhu politik akan semakin memanas. Pemilu 2014 adalah pemilu ketiga semenjak reformasi yang berasaskan prinsip-prinsip demokratis. Indonesia memang telah beberapa kali melaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum pertama kali dilakukan pada tahun 1955. Pada masa rezim Orde Baru pun telah dilaksanakan beberapa kali pemilihan, namun sayangnya pelaksanaan pemilu ini diwarnai dengan intervensi pemerintahan Soeharto. Pelaksanaan pemilu pada rezim Soeharto selalu memunculkan Golongan Karya (Golkar) sebagai pemenang dan menempatkan Soeharto sebagai presiden terpilih Indonesia. Kini, pemilihan umum telah menjadi primadona demokrasi dan telah menjadi agenda pesta demokrasi periodik dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Pemilu di Indonesia mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden (5 tahun sekali sejak 2004), pemilihan gubernur dan wakil gubernur di tingkat provinsi (5 tahun sekali jadwal menyesuaikan), pemilihan bupati dan wakil bupati di tingkat kabupaten (5 tahun sekali jadwal menyesuaikan), pemilihan walikota dan wakil walikota di tingkat kota (5 tahun sekali jadwal menyesuaikan), serta pemilihan anggota legislative (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD).
Dapat kita bayangkan mengenai rumitnya pelaksanaan pemilu di Indonesia yang jumlahnya. Kita tahu bahwa Indonesia memiliki beberapa ratus kabupaten/kota dan 33 provinsi yang di setiap daerahnya menyelenggarakan pemilu di tingkat lokal. Dapat dikatakan, hampir setiap 2-3 hari sekali di Indonesia terdapat penyelenggaraan pemilihan umum. Betapa dapat kita bayangkan ramainya pesta demokrasi yang terselenggara di negara kita ini. Melihat dampaknya, konflik tertutup atau terbuka dan kontestasi politik membuat suhu masyarakat semakin memanas.

Problematika dan Tantangan Pemilu 2014
            Ada beberapa problematika dan tantangan besar yang akan dihadapi dalam pendidikan politik kewargaan terutama menjelang pemilu 2014. Dari sisi pemilih, ada beberapa tantangan yang muncul menjelang pemilu 2014. Pertama, dalam konteks Indonesia, dalam tiga belas tahun terakhir, muncul trend ketidakpercayaan (distrust) pada partai politik. Tingkat kepercayaan yang rendah ini tidak berubah dalam lima tahun terakhir. Dari data tahun 2006 menunjukkan bahwa partai politik merupakan institusi yang paling tidak dipercaya. Lima tahun kemudian, tingkat kepercayaan tidak banyak berubah, masih paling rendah dibandingkan institusi lain (Polisi, Mahkamah Agung, Institusi Pemerintah, dll). Namun demikian rakyat tetap memandang partai dan persaingan partai dalam pemilu tidak bisa ditiadakan. Yang harus ditiadakan adalah partai-partai yang kinerjanya buruk. Kedua, data ketidakpercayaan pada partai politik juga cukup konsisten dengan instabilitas dukungan pada partai. Ketika dilakukan survey tentang tingkat kedekatan responden pada partai politik, hanya 20 persen menjawab mempunyai kedekatan dengan partai. Selebihnya 78,8 persen responden menyatakn tidak mempunyai kedekatan dengan partai politik dan 1,2 persen yang menjawab tidak tahu.
            Ketiga, data lain menunjukkan hadirnya fenomena penurunan identifikasi kepartaian (Party Identification). Dimana identifikasi kepartaian dari pemilih cenderung menurun  dari 86 persen dalam pemilu 1999, menjadi 54 persen pada pemilu 2004, dan menurun kembali menjadi 20 persen pada pemilu 2009. Trend penurunan identifikasi kepartaian ini mengakibatkan membesarnya undecided voters, atau sering disebut sebagai pemilih mengambang (swing voters). Sebagian diantaranya akhirnya tetap bersikap non voting, atau tidak memilih dalam pemilu. Keempat, pada saat yang bersamaan juga muncul trend penurunan partisipasi pemilih dalam momen-momen elektoral. Dalam pemilu 1999, ekspektasi pemilih sangat tinggi mencapai 93,3 persen. Pada pemilu 2004 mengalami penurunan mencapai 84,9 persen dalam pemilu legislative dan 79,76 persen dalam pemilu Presiden. Partisipasi pemilih semakin menurun dalam pemilu 2009 yang hanya berkisar 70,99 persen. Trend penurunan partisipasi juga berlangsung dalam momen pilkada langsung sejak 2005.
            Tantangan lain muncul sebagai akibat perubahan perilaku politisi dalam meraih dukungan politik. Pertama, menghadapi fenomena Amerikanisasi model kampanye, sehingga partai politik dan kandidat lebih mengedepankan politik pencitraan. Politik pencitraan ini semakin kuat ketika basis utama yang digunakan oleh kandidat untuk mengukur dukungan adalah popularitas. Hal ini sejalan dengan tumbuh suburnya lembaga survei dan lembaga konsultan politik yang dalam banyak hal menggantikan peran partai dalam mencari dukungan di akar rumput.
            Tantangan kedua adalah fenomena populisme instan, dimana menjelang pemilu, partai politik mendadak menjadi populis. Populisme instan dilakukan dengan berbagai cara; mulai dari bazar murah, pembagian sembako, sering mengunjungi warga di akar rumput dengan membawa bantuan, sampai dengan politik proposal. Tantangan ketiga adalah money politics dan vote buying. Aksi politisi untuk membeli suara pemilih dengan imbalan sejumlah uang. Fenomena ini bukan hal yang baru melainkan selalu muncul dalam momen elektoral. Modusnya pun semakin canggih.
Menjelang 2014 trend politik di Indoneisa makin dinamis dan cenderung memanas. Kecenderungan dinamis dan memanasnya suhu politik Indonesia setidaknya dapat dianalisis dengan memahami enam area sensitif politik Indonesia saat ini. Enam area sensitif tersebut meliputi problem Etika elit politik, isu Amandemen UUD 1945, aksi Evaluasi Pemerintahan, aturan Pemilu 2014 dan serangan politik. Enam area sensitif inilah yang akan memicu dinamika politik hingga 2014 dan menentukan perubahan politik baik sebelumnya maupun sesudahnya.

Etika Elit Politik
Fenomena perilaku elit politik kita dalam lima tahun terakhir ini masih diwarnai sejumlah persoalan etika, hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa hal menyangkut ketidakmampuan elit politik mengelola modal legitimasi dari rakyat, ketidakmampuan menterjemahkan filosofi bangsa dalam berpolitik, rendahnya sensitifitas wakil rakyat maupun eksekutif pada penderitaan rakyat, ketidakmampuan mengelola konflik, gemar menciptakan dan mempertajam konflik, tidak bisa membangun teamwork (gotong-royong), meluapnya kemarahan dalam menghadapi kritik, hilangnya kejujuran dalam komunikasi politik, dan memutarbalikan kesalahan menjadi kebenaran dengan politik pencitraan. Perilaku elit politik yang tidak etis dalam lima tahun terakhir ini menjalar ke arena etik dalam makna moralitas.
Hal tersebut dilihat dengan adanya perilaku amoral atau asusila dari para politisi, dari sekedar membuka file video porno sampai sebagai pelaku utama aktor video porno dan perilaku asusila lainya. Tidak sedikit kasus asusila yang merasuki wakil rakyat di parlemen. Seperti terjadi beberapa waktu lalu dalam kasus Amin Nasution, Yahya Zaini, Max Moein, Ahmad Tohari dan terakhir kasus Arifinto yang kemudian dengan cepat mengundurkan diri dari Anggota DPR. Tidak etisnya elit politik jauh sebelum kasus asusila tersebut, sesungguhnya telah terjadi praktik yang secara sistemik merugikan negara yakni kuatnya praktik korupsi. Bahkan korupsi yang paling memalukan terjadi di Kementrian terhormat yang menaungi agama-agama di Indonesia dan juga terjadi pada Kementrian terhormat yang mendidik anak bangsa dan membawa misi peradaban, bahkan korupsi juga terjadi pada lembaga wakil rakyat yang terhormat. Tidak tanggung-tanggung lembaga eksekutif paling top juga tersandera Century Gate dan ‘Abused of Power’. Ini semua menyangkut etika elit politik kita yang akan terus memicu gejolak politik dalam tahun tahun kedepan. Semua lembaga negara sebagai penjaga paling otoritatif telah runtuh ditelan citra yang buruk dan meluasnya ketidakpercayaan publik (public distrust) pada lembaga otoritatif tersebut. Situasi public distrust akibat asusila politik ini jika tidak mampu dibenahi ia akan mendorong sikap protes masyarakat dan menjadi batu sandungan politik menjelang 2014, atau bahkan tidak hanya batu sandungan tapi juga bisa menjadi semacam tsunami politik menerjang karang kekuasaan.

Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945 dalam beberapa tahun kedepan akan menjadi agenda politik nasional yang cukup serius. Kemungkinan besar akan terbelah menjadi dua kelompok politik, yakni kelompok politik yang menginginkan amandemen UUD’45 dan kelompok politik yang menginginkan kembali ke UUD 1945 asli. Kelompok politik yang menginginkan amandemen UUD 1945 didasari oleh realitas politik saat ini yang menyangkut pemilihan umum Presiden, pilkada, peran DPD, dan tentang hubungan ketatanegaraan antar lembaga negara. Tentang pemilihan presiden, sebagian kelompok politik ini menginginkan dibolehkannya calon independen karena menjadi presiden diyakini sebagai hak politik seluruh rakyat Indonesia. Tentang pilkada, kelompok ini sebagian menghendaki bahwa pilkada di tingkat Kabupaten tidak diperlukan karena ongkos besar politik dan kejenuhan politik ditingkat daerah, termasuk konflik politik yang cukup banyak di tingkat daerah. Pilkada cukup dilakukan di tingkat provinsi.

Sementara tentang peran DPD, ini disuarakan oleh anggota DPD yang memang minus peran legislasi padahal mereka adalah wakil rakyat yang suaranya harus didengar dalam menyusun setiap Undang-undang. Mereka juga dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Mereka menginginkan peran DPD layaknya senator di Amerika atau senator di Era Republik Indonesia Serikat (RIS) yang juga memiliki peran dalam setiap penyusunan Undang-Undang. Karena itu kelompok pro amandemen menginginkan dilakukannya amandemen tentang DPD ini. Tentang hubungan ketatanegaraan antar lembaga negara, kelompok politik pro amandemen juga mempertanyakan posisi lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi super body dalam membatalkan Undang-Undang. Mereka mempertanyakan posisi MK yang begitu kuat bisa membatalkan Undang-Undang yang sudah dibuat DPR dan Presiden, padahal MK dipilih melalui fit and proper test DPR, sementara DPR dan Presiden dipilih langsung oleh Rakyat yang memiliki legalitas dari rakyat yang lebih kuat dibanding MK. Realitas ini dinilainya sebagai ironi demokrasi, karena itu fungsi MK perlu diperbaiki. Kelompok politik yang menghendaki amandemen UUD 1945 ini jumlahnya jauh lebih banyak dibanding kelompok politik yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli. Kelompok yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli meyakini bahwa arah politik nasional saat ini sudah terlalu liberal dan sudah keluar dari kaedah-kaedah politik kebangsaan Indonesia. Meski jumlahnya lebih sedikit dari yang pro amandemen namun kelompok politik yang menghendaki kembali ke UUD 1945 ini di dukung kuat oleh kelompok nasionalis sipil dan militer yang kuat. Realitas ini akan menjadi sumber dinamika politik yang menyita energi politik nasional. Jika realitas politik ini tidak mampu dikelola dengan baik oleh elit politik maka ia akan memicu meluasnya gerakan kembali ke UUD 1945 yang asli.

Evaluasi Pemerintahan
Momentum evaluasi pemerintahan tahunan di Indonesia yang paling dominan mempengaruhi politik nasional ada pada lima peristiwa, yakni momentum peringatan reformasi, momentum pidato tahunan Presiden, momentum hari buruh, momentum hari pendidikan nasional dan momentum sumpah pemuda. Pada momentum peringatan reformasi 21 Mei, seringkali dijadikan kelompok mahasiswa untuk melakukan refleksi tahunan untuk melakukan evaluasi terhadap praktik penyelenggaraan negara. Jika pada momentum peringatan reformasi ini ditemukan banyak pembelokan arah reformasi dimana agenda-agenda penting reformasi seperti pemberantasan korupsi, penegakan supremasi hukum, demokratisasi politik dan ekonomi tidak lagi sesuai dengan track nya maka kemungkinan besar mahasiswa akan kembali melakukan protes terhadap persoalan ini. Sebut saja misalnya kasus Century yang belum tuntas, kasus mafia pajak dan penggelapan pajak, kasus pemberitaan Wikileaks, dan masalah-masalah kemiskinan yang masih terus mendera rakyat Indonesia. Mahasiswa sebagai kekuatan sosial politik kelas menengah yang paling independen ia akan tetap muncul menyuarakan kepentingan rakyat banyak, karena panggilan moralnya yang setiap hari pada mereka diajarkan tentang objektivitas, rasionalitas, kejujuran, dan sejumlah budaya intelektual lainnya. Mahasiswa pada setiap zaman akan tetap menjadi kekuatan yang masih menakutkan bagi pemerintahan yang korup dan diktator.
Momentum evaluasi tahunan juga terjadi pada momentum pidato tahunan presiden yang dilakukan pada setiap tanggal 16 Agustus dihadapan paripurna DPR. Pada momentum ini semua kelompok politik, , akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum menyaksikan pidato langsung Presiden. Dalam pidato inilah berbagai analisis dilakukan oleh kelompok politik, akademisi, mahasiswa maupun masyarakat umum. Jika pidato presiden tidak mampu menjelaskan secara baik terutama menyangkut kebijakan politik, ekonomi dan berbagai masalah respon negatif dari mahasiswa, akademisi, bahkan termasuk dunia bisnis dapat memicu protes masyarakat. Oleh sebab itu pidato tahunan Presiden adalah arena terbuka munculnya kritik dari masyarakat luas.
Hari buruh yang jatuh pada 1 Mei dan hari pendidikan nasional 2 Mei juga menjadi momentum evaluasi tahunan yang sering dijadikan sebagai momentum perjuangan hak-hak buruh dan momentum perjuangan bagi para guru. Problem buruh dan guru saat ini masih didera persoalan yang sama menyangkut kesejahteraan. Tuntutan upah minimum provinsi yang layak bagi buruh masih “jauh panggang dari api”, harapan buruh untuk sejahtera masih ada dalam mimpi. Misalnya di DKI Jakarta Upah Minimum Propinsi (UMP) hanya Rp.1.290.000 tidaklah cukup bagi buruh untuk memikul beban hidup yang berat di Jakarta. Hal hasil penderitaan buruh nampaknya masih terus mewarnai Indonesia, karena itu protes para buruh dalam tahun tahun kedepan juga akan terus terjadi dan jika skala nya meluas akan turut mempengaruhi dinamika politik nasional.
Hari pendidikan nasional juga menjadi momentum penting evaluasi tahunan. Tidak sedikit problem yang mendera begitu berat di dunia pendidikan. Dari Problem kesejahteraan guru, banyaknya guru honorer yang belum diangkat, mandegnya uang tunjangan guru yang telah lulus sertifikasi, korupsi di lembaga dan kementrian pendidikan, hingga kapitalisasi pendidikan yang melahirkan diskriminasi di dunia pendidikan. Hal itu akan mewarnai protes komunitas akademis terhadap dunia pendidikan, baik yang dilakukan akademisi kampus, guru-guru, maupun yang dilakukan mahasiswa. Protes dunia pendidikan ini juga akan mewarnai dinamika politik nasional.
Momentum sumpah pemuda sering dijadikan kalangan kaum muda Indonesia untuk melakukan refleksi kritis tentang kabangsaan. Tidak sedikit problem kebangsaan yang mendera bangsa Indonesia, dari soal lemahnya kedaulatan politik, lemahnya kedaulatan ekonomi, sampai memudarnya nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks nasionalisme, koruptor juga bagi kaum muda sama dengan penghianat bangsa. Seorang koruptor adalah orang yang minus nasionalisme. Selain memahami problem-problem kebangsaan dan pada saat yang sama kaum muda juga sering menjadikan nilai-nilai kepeloporan pemuda era 1928 telah memberi inspirasi bagi lahirnya militansi pemuda untuk melakukan perjuangan membela rakyat. Momentum ini jika bersentuhan dengan politik ia bisa melahirkan gerakan protes militant dari kelas menengah pemuda Indonesia dalam tahun-tahun mendatang.

Aturan Pemilu 2014 dan Serangan Politik
Jika sampai menjelang 2014 tidak ada gejolak politik signifikan maka Pemilu 2014 akan berlangsung sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya dan pemenangnya sudah dapat diketahui sejak saat ini. Jika tidak ada tokoh muda alternatif yang visioner, memiliki integritas, dan memiliki leadership yang kuat dari calon independen, pemenang pemilu presiden kemungkinan besar akan dimenangkan dengan pola yang sama, yakni dimenangkan oleh sosok yang popular dan memiliki modal kapital yang besar. Bukan oleh mereka yang minus popularitas apalagi yang minus modal kapital. Hal menarik lain yang akan mewarnai dinamika politik menjelang pemilu 2014 adalah problematika menyangkut aturan main pemilu. Nampaknya yang akan banyak menyita energi politik sebelum pemilu adalah menyangkut batas Parliamentary Threshold (PT) yang dijadikan patokan untuk mendapatkan kursi di tingkat DPR RI dan DPRD. Jika perolehan kursi di DPRD ditentukan oleh partai yang lulus PT, tentu ini menjadi sumber picu politik baru. Selain soal PT, penggalangan koalisi politik juga akan mewarnai dinamika politik nasional. Koalisis politik ini bisa terjadi dimulai saat pembahasan aturan pemilu. Koalisi politik akan dilakukan semata-mata karena hal pragmatis kekuasaan. Hal ini bisa memicu protes dari massa partai maupun berbagai kalangan lainya.
Selain aturan pemilu 2014, serangan politik antar partai dan antar kekuatan politik juga akan menjadi menu sehari-hari. Makin mendekati pemilu maka makin santer dan intensif serangan-serangan politik dilancarkan para politisi. Hal ini dilakukan untuk melemahkan citra politik lawan dan sekaligus membangun citra politik diri dan partainya. Lebih berdampak sosial politik bahkan ekonomi jika arena serangan elit politik ini merambat ke massa akar rumput.
Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia : Jakarta.
Cholisin et al. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Universitas Negeri Yogyakarta Press : Yogyakarta.
Dardias, Bayu. 2011. Isu Krusial RUU Pemilu. (Artikel Lepas, Tidak Dipublikasikan)
Dwipayana, AAGN Ari. 2012. Menjadi Pemilih +++. (Artikel Lepas, Tidak Dipublikasikan)
Surbakti, Ramlan. 2008. Buku Panduan Komisi Pemilihan Umum. Penerbit Komisi Pemilihan Umum : Jakarta.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Mediasarana Indonesia (GRASINDO) : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar