Sumber gambar : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.lazuardibirru.org/wp-content/uploads/2013/06/basa-sumber-genderuwota48.com_.jpg&imgrefurl=http://www.lazuardibirru.org/berita/kolom/basa-basi-pengaturan-dana-kampanye/&usg=__c0UIpAp11UKDW_epq5Yny2JfBTs=&h=1271&w=1696&sz=231&hl=id&start=7&sig2=MvlIh-5eZfYI_XS0_rLfaw&zoom=1&tbnid=c8gBGt_JgS4tNM:&tbnh=112&tbnw=150&ei=4UvkUfeaGsONrgfhioGwDw&um=1&itbs=1&sa=X&ved=0CDYQrQMwBg
Studi mengenai pemilu
merupakan salah satu kajian dalam studi Ilmu Politik. Sebagai sebuah kajian, pemilu
berkaitan dengan berbagai hal terkait dengan sistem pemilihan pemimpin atau
yang sering kita sebut sebagai kepala daerah. Sebagai Sebuah sistem, pemilu
adalah salah satu dari indikator adanya demokrasi di sebuah negara. Pemilu juga
digunakan sebagai salah satu indikator berjalannya demokrasi di sebuah negara,
mencakup apakah demokrasi mampu diterima sebagai sebuah sistem politik dan juga
mencakup apakah implementasi demokrasi telah terlaksana sebagaimana
prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri.
Demokrasi
dan Pemilu
Secara
sederhana, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Sehingga, rakyatlah yang berhak membentuk pemerintahan untuk
kepentingan dirinya sendiri. Selain itu, demokrasi juga menghendaki bahwa
pemerintahan yang terbentuk harus berorientasi pada pelayanan dan pemenuhan
kebutuhan rakyat banyak. Dalam penerapan demokrasi, akan muncul satu pertanyaan
besar yaitu bagaimana konsep demokrasi yang ideal itu dilaksanakan? Disinilah
konsep pemilu diimplementasikan, karena demokrasi memerlukan pemilu sebagai
alat implementasi dari prinsip-prinsip dasar berjalannya demokrasi.
Saat
ini, hampir semua rezim politik mengklaim dirinya sebagai penganut demokrasi
sebagai sebuah pilihan untuk menata sistem politik. Hampir semua para pemimpin
politik dunia mengaku sebagai seorang demokrat yang memperjuangkan demokrasi.
Untuk kasus ini, demokrasi telah membuktikan dirinya mampu mengatasi perbedaan
dan pertentangan antar kekuatan politik secara damai. Demokrasi telah berhasil
mengorganisasi, mengaktualisasi, dan menegosiasi perbedaan dan pertentangan
politik, yang dalam sejarah terjadi pada masa-masa abad ke 18, 19, dan 20.
Perang besar antar negara yang menghasilkan dua kali Perang Dunia sebagai
akibat dari pertentangan politik, telah berhasil diredam oleh sistem demokrasi,
sehingga kini tiada lagi kekhawatiran akan pecahnya perang besar.
Demokrasi
memiliki kelebihan dibandingkan rezim politik lainnya, berikut adalah beberapa
diantaranya :
- Demokrasi menolong mencegah tumbuhnya
pemerintahan oleh kaum otokrat yang kejam dan licik.
- Demokrasi menjamin bagi WN sejumlah hak asasi
yang tidak diberikan dan tidak dapat diberikan oleh sistem-sistem lain.
- Demokrasi menjamin kebebasan pribadi yang lebih
luas bagai WN daripada sistem lain.
- Demokrasi membantu WN untuk melindungi
kepentingan pokok mereka.
- Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat
memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi WN untuk menggunakan kebebasan
menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka
pilih sendiri.
- Hanya pemerintahan yang demokratis yang dapat
memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab
moral.
- Demokrasi membantu perkembangan manusia lebih
total daripada alternatif sistem lain.
- Hanya pemerintah yang demokratis yang dapat
membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi.
- Negara-negara demokrasi perwakilan modern tidak
pernah berperang satu sama lain.
- Negara-negara dengan pemerintahan yang demokratis
cenderung lebih makmur daripada negara-negara dengan pemerintahan yang
tidak demokratis.
Sebagai sebuah sistem,
demokrasi memiliki beberapa syarat implementasi. Syarat-syarat inilah yang
menjadi salah satu indikator berjalannya demokrasi :
1.
Para
pejabat yang dipilih.
2.
Pemilu
yang bebas.
3.
Hak
untuk memilih yang inklusif.
4.
Hak
dipilih atau dicalonkan dalam pemilu.
5.
Hak
mendapat informasi alternatif.
6.
Kebebasan
berserikat.
Pemilu sebagai sebuah
cara menata sistem, memerlukan pemilu sebagai alat untuk mengimplementasikan
sistemnya. Demokrasi membutuhkan pemilu, sebab hanya pemilu yang memungkinkan
bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya untuk duduk di pemerintahan (baik
sebagai anggota legislatif maupun pimpinan eksekutif), dan sekaligus menghukum
mereka yang tidak profesional dalam mengemban amanat rakyat, dengan cara tidak
memilihnya (kembali).
Dari
sisi rakyat, pemilu adalah mekanisme
pendelegasian kedaulatan rakyat kepada mereka yang hendak memegang kekuasaan di
pemerintahan. Dari sisi elit, pemilu adalah mekanisme pergantian
pemegang kekuasaan, secara periodik, dan tertib.
Pemilu juga bisa diartikan
sebagai mekanisme pemindahan berbagai macam perbedaan dan pertentangan
kepentingan dari masyarakat kedalam lembaga legislatif dan eksekutif untuk
dibahas dan diputuskan secara terbuka dan beradab.
Secara normatif, pemilu
diartikan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam NKRI berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Pemilu memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah :
• Keterwakilan Politik : Pemilu adalah sarana untuk memilih wakil-wakil dari
kelompok masyarakat yang berbeda-beda (ideologi, oritensi politik, suku, ras,
agama, dll), sehingga lembaga perwakilan rakyat benar-benar mencerminkan
kondisi masyarakatnya
• Integrasi Nasional : Pemilu adalah sarana untuk mengkanalisasi
perbedaan-perbedaan kepentingan yang ada di dalam masyarakat, sehingga potensi
konflik dapat diredam dan disalurkan secara efektif lewat lembaga-lembaga
perwakilan rakyat.
• Pemerintahan Efektif : Pemilu adalah sarana untuk membentuk pemerintahan yang
efektif, karena pejabat-pejabat yang terpilih mendapat dukungan nyata (legitimasi)
dari masyarakat.
Sumber gambar : http://www.google.co.id/imgres?imgurl=https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7gp8oug_N-sUO09ksqnHNbnpZ4l9dvkJ6vd9S6qk76pZKZO3TSopvjAZl431rXt0_b181Va8b1jdYsotqLam1jvM6-42FbVKsTVPt7R3SDMghVCNL9bZ7ZEKtuj5vGTHypXmkTJdfX4o/s400/sistem-pemilu-skema.png&imgrefurl=http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pemilihan-umum.html&usg=__IYq2kuL96Ysc7pIIUbO0I6lTTvU=&h=168&w=400&sz=39&hl=id&start=5&sig2=KZ4SONDlLeJ6L9HKSZuvqg&zoom=1&tbnid=mhPt5y2vp138BM:&tbnh=52&tbnw=124&ei=4UvkUfeaGsONrgfhioGwDw&um=1&itbs=1&sa=X&ved=0CDIQrQMwBA
Pemilu yang baik adalah
pemilu yang berjalan searah dengan pelaksanaan demokrasi. Berikut adalah
parameter pelaksanaan pemilu yang demokratis :
- Ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap tahapan
pemilu dirumuskan berdasarkan asas-asas pemilu: langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil, akuntabel, dan edukatif.
- Ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap tahapan
pemilu terdapat kepastian hukum (predictable procedures), yaitu:
mengatur semua hal yang perlu diatur (tidak ada kekosongan hukum),
ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain tidak saling bertentangan
(konsisten), dan ketentuan yang mengandung makna tunggal (tidak
multitafsir).
- Ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap tahapan
pemilu dan sistem pendukungnya bersifat efektif (mencapai tujuan yang ditetapkan),
dan efesien (baik dalam prosedur, jangka waktu, sarana, tenaga, dan
biaya).
- Ketentuan-ketentuan yang mengatur setiap tahapan
terdapat sistem pengawasan guna menjamin pemilu berjalan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, sehingga proses dan hasil pemilu mencapai
integritas tinggi.
Menjelang 2014, suhu
politik akan semakin memanas. Pemilu 2014 adalah pemilu ketiga semenjak
reformasi yang berasaskan prinsip-prinsip demokratis. Indonesia memang telah
beberapa kali melaksanakan pemilihan umum. Pemilihan umum pertama kali
dilakukan pada tahun 1955. Pada masa rezim Orde Baru pun telah dilaksanakan
beberapa kali pemilihan, namun sayangnya pelaksanaan pemilu ini diwarnai dengan
intervensi pemerintahan Soeharto. Pelaksanaan pemilu pada rezim Soeharto selalu
memunculkan Golongan Karya (Golkar) sebagai pemenang dan menempatkan Soeharto
sebagai presiden terpilih Indonesia. Kini, pemilihan umum telah menjadi
primadona demokrasi dan telah menjadi agenda pesta demokrasi periodik dari
tingkat pusat hingga tingkat daerah. Pemilu di Indonesia mencakup pemilihan
presiden dan wakil presiden (5 tahun sekali sejak 2004), pemilihan gubernur dan
wakil gubernur di tingkat provinsi (5 tahun sekali jadwal menyesuaikan),
pemilihan bupati dan wakil bupati di tingkat kabupaten (5 tahun sekali jadwal
menyesuaikan), pemilihan walikota dan wakil walikota di tingkat kota (5 tahun
sekali jadwal menyesuaikan), serta pemilihan anggota legislative (DPR, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD).
Dapat kita bayangkan
mengenai rumitnya pelaksanaan pemilu di Indonesia yang jumlahnya. Kita tahu
bahwa Indonesia memiliki beberapa ratus kabupaten/kota dan 33 provinsi yang di
setiap daerahnya menyelenggarakan pemilu di tingkat lokal. Dapat dikatakan,
hampir setiap 2-3 hari sekali di Indonesia terdapat penyelenggaraan pemilihan
umum. Betapa dapat kita bayangkan ramainya pesta demokrasi yang terselenggara
di negara kita ini. Melihat dampaknya, konflik tertutup atau terbuka dan
kontestasi politik membuat suhu masyarakat semakin memanas.
Problematika
dan Tantangan Pemilu 2014
Ada
beberapa problematika dan tantangan besar yang akan dihadapi dalam pendidikan
politik kewargaan terutama menjelang pemilu 2014. Dari sisi pemilih, ada
beberapa tantangan yang muncul menjelang pemilu 2014. Pertama, dalam konteks
Indonesia, dalam tiga belas tahun terakhir, muncul trend ketidakpercayaan
(distrust) pada partai politik. Tingkat kepercayaan yang rendah ini tidak
berubah dalam lima tahun terakhir. Dari data tahun 2006 menunjukkan bahwa
partai politik merupakan institusi yang paling tidak dipercaya. Lima tahun
kemudian, tingkat kepercayaan tidak banyak berubah, masih paling rendah
dibandingkan institusi lain (Polisi, Mahkamah Agung, Institusi Pemerintah,
dll). Namun demikian rakyat tetap memandang partai dan persaingan partai dalam
pemilu tidak bisa ditiadakan. Yang harus ditiadakan adalah partai-partai yang
kinerjanya buruk. Kedua, data ketidakpercayaan pada partai politik juga cukup
konsisten dengan instabilitas dukungan pada partai. Ketika dilakukan survey
tentang tingkat kedekatan responden pada partai politik, hanya 20 persen
menjawab mempunyai kedekatan dengan partai. Selebihnya 78,8 persen responden
menyatakn tidak mempunyai kedekatan dengan partai politik dan 1,2 persen yang
menjawab tidak tahu.
Ketiga,
data lain menunjukkan hadirnya fenomena penurunan identifikasi kepartaian (Party Identification). Dimana
identifikasi kepartaian dari pemilih cenderung menurun dari 86 persen dalam pemilu 1999, menjadi 54
persen pada pemilu 2004, dan menurun kembali menjadi 20 persen pada pemilu
2009. Trend penurunan identifikasi kepartaian ini mengakibatkan membesarnya undecided voters, atau sering disebut
sebagai pemilih mengambang (swing voters).
Sebagian diantaranya akhirnya tetap bersikap non voting, atau tidak memilih
dalam pemilu. Keempat, pada saat yang bersamaan juga muncul trend penurunan
partisipasi pemilih dalam momen-momen elektoral. Dalam pemilu 1999, ekspektasi
pemilih sangat tinggi mencapai 93,3 persen. Pada pemilu 2004 mengalami
penurunan mencapai 84,9 persen dalam pemilu legislative dan 79,76 persen dalam
pemilu Presiden. Partisipasi pemilih semakin menurun dalam pemilu 2009 yang
hanya berkisar 70,99 persen. Trend penurunan partisipasi juga berlangsung dalam
momen pilkada langsung sejak 2005.
Tantangan
lain muncul sebagai akibat perubahan perilaku politisi dalam meraih dukungan
politik. Pertama, menghadapi fenomena Amerikanisasi model kampanye, sehingga
partai politik dan kandidat lebih mengedepankan politik pencitraan. Politik
pencitraan ini semakin kuat ketika basis utama yang digunakan oleh kandidat
untuk mengukur dukungan adalah popularitas. Hal ini sejalan dengan tumbuh
suburnya lembaga survei dan lembaga konsultan politik yang dalam banyak hal
menggantikan peran partai dalam mencari dukungan di akar rumput.
Tantangan
kedua adalah fenomena populisme instan, dimana menjelang pemilu, partai politik
mendadak menjadi populis. Populisme instan dilakukan dengan berbagai cara;
mulai dari bazar murah, pembagian sembako, sering mengunjungi warga di akar
rumput dengan membawa bantuan, sampai dengan politik proposal. Tantangan ketiga
adalah money politics dan vote buying. Aksi politisi untuk membeli
suara pemilih dengan imbalan sejumlah uang. Fenomena ini bukan hal yang baru
melainkan selalu muncul dalam momen elektoral. Modusnya pun semakin canggih.
Menjelang 2014 trend
politik di Indoneisa makin dinamis dan cenderung memanas. Kecenderungan dinamis
dan memanasnya suhu politik Indonesia setidaknya dapat dianalisis dengan
memahami enam area sensitif politik Indonesia saat ini. Enam area sensitif
tersebut meliputi problem Etika elit politik, isu Amandemen UUD 1945, aksi
Evaluasi Pemerintahan, aturan Pemilu 2014 dan serangan politik. Enam area sensitif
inilah yang akan memicu dinamika politik hingga 2014 dan menentukan perubahan
politik baik sebelumnya maupun sesudahnya.
Etika Elit Politik
Fenomena perilaku elit
politik kita dalam lima tahun terakhir ini masih diwarnai sejumlah persoalan
etika, hal tersebut bisa dilihat dalam beberapa hal menyangkut ketidakmampuan
elit politik mengelola modal legitimasi dari rakyat, ketidakmampuan menterjemahkan
filosofi bangsa dalam berpolitik, rendahnya sensitifitas wakil rakyat maupun
eksekutif pada penderitaan rakyat, ketidakmampuan mengelola konflik, gemar
menciptakan dan mempertajam konflik, tidak bisa membangun teamwork (gotong-royong), meluapnya kemarahan dalam menghadapi
kritik, hilangnya kejujuran dalam komunikasi politik, dan memutarbalikan
kesalahan menjadi kebenaran dengan politik pencitraan. Perilaku elit politik
yang tidak etis dalam lima tahun terakhir ini menjalar ke arena etik dalam
makna moralitas.
Hal tersebut dilihat dengan adanya perilaku amoral atau asusila dari para
politisi, dari sekedar membuka file video porno sampai sebagai pelaku utama
aktor video porno dan perilaku asusila lainya. Tidak sedikit kasus asusila yang
merasuki wakil rakyat di parlemen. Seperti terjadi beberapa waktu lalu dalam
kasus Amin Nasution, Yahya Zaini, Max Moein, Ahmad Tohari dan terakhir kasus
Arifinto yang kemudian dengan cepat mengundurkan diri dari Anggota DPR. Tidak
etisnya elit politik jauh sebelum kasus asusila tersebut, sesungguhnya telah
terjadi praktik yang secara sistemik merugikan negara yakni kuatnya praktik
korupsi. Bahkan korupsi yang paling memalukan terjadi di Kementrian terhormat
yang menaungi agama-agama di Indonesia dan juga terjadi pada Kementrian
terhormat yang mendidik anak bangsa dan membawa misi peradaban, bahkan korupsi
juga terjadi pada lembaga wakil rakyat yang terhormat. Tidak tanggung-tanggung
lembaga eksekutif paling top juga tersandera Century Gate dan ‘Abused of Power’.
Ini semua menyangkut etika elit politik kita yang akan terus memicu gejolak
politik dalam tahun tahun kedepan. Semua lembaga negara sebagai penjaga paling
otoritatif telah runtuh ditelan citra yang buruk dan meluasnya ketidakpercayaan
publik (public distrust) pada lembaga
otoritatif tersebut. Situasi public
distrust akibat asusila politik ini jika tidak mampu dibenahi ia akan
mendorong sikap protes masyarakat dan menjadi batu sandungan politik menjelang
2014, atau bahkan tidak hanya batu sandungan tapi juga bisa menjadi semacam
tsunami politik menerjang karang kekuasaan.
Amandemen UUD 1945
Amandemen UUD 1945
dalam beberapa tahun kedepan akan menjadi agenda politik nasional yang cukup
serius. Kemungkinan besar akan terbelah menjadi dua kelompok politik, yakni
kelompok politik yang menginginkan amandemen UUD’45 dan kelompok politik yang
menginginkan kembali ke UUD 1945 asli. Kelompok politik yang menginginkan
amandemen UUD 1945 didasari oleh realitas politik saat ini yang menyangkut
pemilihan umum Presiden, pilkada, peran DPD, dan tentang hubungan
ketatanegaraan antar lembaga negara. Tentang pemilihan presiden, sebagian
kelompok politik ini menginginkan dibolehkannya calon independen karena menjadi
presiden diyakini sebagai hak politik seluruh rakyat Indonesia. Tentang pilkada,
kelompok ini sebagian menghendaki bahwa pilkada di tingkat Kabupaten tidak
diperlukan karena ongkos besar politik dan kejenuhan politik ditingkat daerah,
termasuk konflik politik yang cukup banyak di tingkat daerah. Pilkada cukup
dilakukan di tingkat provinsi.
Sementara tentang peran
DPD, ini disuarakan oleh anggota DPD yang memang minus peran legislasi padahal
mereka adalah wakil rakyat yang suaranya harus didengar dalam menyusun setiap
Undang-undang. Mereka juga dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Mereka
menginginkan peran DPD layaknya senator di Amerika atau senator di Era Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang juga memiliki peran dalam setiap penyusunan
Undang-Undang. Karena itu kelompok pro amandemen menginginkan dilakukannya
amandemen tentang DPD ini. Tentang hubungan ketatanegaraan antar lembaga
negara, kelompok politik pro amandemen juga mempertanyakan posisi lembaga
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi super body dalam membatalkan
Undang-Undang. Mereka mempertanyakan posisi MK yang begitu kuat bisa
membatalkan Undang-Undang yang sudah dibuat DPR dan Presiden, padahal MK
dipilih melalui fit and proper test DPR, sementara DPR dan Presiden dipilih
langsung oleh Rakyat yang memiliki legalitas dari rakyat yang lebih kuat
dibanding MK. Realitas ini dinilainya sebagai ironi demokrasi, karena itu
fungsi MK perlu diperbaiki. Kelompok politik yang menghendaki amandemen UUD
1945 ini jumlahnya jauh lebih banyak dibanding kelompok politik yang
menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli. Kelompok yang menghendaki kembali ke
UUD 1945 yang asli meyakini bahwa arah politik nasional saat ini sudah terlalu
liberal dan sudah keluar dari kaedah-kaedah politik kebangsaan Indonesia. Meski
jumlahnya lebih sedikit dari yang pro amandemen namun kelompok politik yang
menghendaki kembali ke UUD 1945 ini di dukung kuat oleh kelompok nasionalis
sipil dan militer yang kuat. Realitas ini akan menjadi sumber dinamika politik
yang menyita energi politik nasional. Jika realitas politik ini tidak mampu
dikelola dengan baik oleh elit politik maka ia akan memicu meluasnya gerakan
kembali ke UUD 1945 yang asli.
Evaluasi Pemerintahan
Momentum evaluasi
pemerintahan tahunan di Indonesia yang paling dominan mempengaruhi politik
nasional ada pada lima peristiwa, yakni momentum peringatan reformasi, momentum
pidato tahunan Presiden, momentum hari buruh, momentum hari pendidikan nasional
dan momentum sumpah pemuda. Pada momentum peringatan reformasi 21 Mei,
seringkali dijadikan kelompok mahasiswa untuk melakukan refleksi tahunan untuk
melakukan evaluasi terhadap praktik penyelenggaraan negara. Jika pada momentum
peringatan reformasi ini ditemukan banyak pembelokan arah reformasi dimana
agenda-agenda penting reformasi seperti pemberantasan korupsi, penegakan
supremasi hukum, demokratisasi politik dan ekonomi tidak lagi sesuai dengan
track nya maka kemungkinan besar mahasiswa akan kembali melakukan protes
terhadap persoalan ini. Sebut saja misalnya kasus Century yang belum tuntas,
kasus mafia pajak dan penggelapan pajak, kasus pemberitaan Wikileaks, dan
masalah-masalah kemiskinan yang masih terus mendera rakyat Indonesia. Mahasiswa
sebagai kekuatan sosial politik kelas menengah yang paling independen ia akan
tetap muncul menyuarakan kepentingan rakyat banyak, karena panggilan moralnya yang
setiap hari pada mereka diajarkan tentang objektivitas, rasionalitas,
kejujuran, dan sejumlah budaya intelektual lainnya. Mahasiswa pada setiap zaman
akan tetap menjadi kekuatan yang masih menakutkan bagi pemerintahan yang korup
dan diktator.
Momentum evaluasi tahunan juga terjadi pada momentum pidato tahunan presiden
yang dilakukan pada setiap tanggal 16 Agustus dihadapan paripurna DPR. Pada
momentum ini semua kelompok politik, , akademisi, mahasiswa, dan masyarakat
umum menyaksikan pidato langsung Presiden. Dalam pidato inilah berbagai
analisis dilakukan oleh kelompok politik, akademisi, mahasiswa maupun
masyarakat umum. Jika pidato presiden tidak mampu menjelaskan secara baik
terutama menyangkut kebijakan politik, ekonomi dan berbagai masalah respon negatif
dari mahasiswa, akademisi, bahkan termasuk dunia bisnis dapat memicu protes
masyarakat. Oleh sebab itu pidato tahunan Presiden adalah arena terbuka
munculnya kritik dari masyarakat luas.
Hari buruh yang jatuh
pada 1 Mei dan hari pendidikan nasional 2 Mei juga menjadi momentum evaluasi
tahunan yang sering dijadikan sebagai momentum perjuangan hak-hak buruh dan
momentum perjuangan bagi para guru. Problem buruh dan guru saat ini masih
didera persoalan yang sama menyangkut kesejahteraan. Tuntutan upah minimum provinsi
yang layak bagi buruh masih “jauh panggang dari api”, harapan buruh untuk
sejahtera masih ada dalam mimpi. Misalnya di DKI Jakarta Upah Minimum Propinsi
(UMP) hanya Rp.1.290.000 tidaklah cukup bagi buruh untuk memikul beban hidup
yang berat di Jakarta. Hal hasil penderitaan buruh nampaknya masih terus
mewarnai Indonesia, karena itu protes para buruh dalam tahun tahun kedepan juga
akan terus terjadi dan jika skala nya meluas akan turut mempengaruhi dinamika
politik nasional.
Hari pendidikan nasional
juga menjadi momentum penting evaluasi tahunan. Tidak sedikit problem yang
mendera begitu berat di dunia pendidikan. Dari Problem kesejahteraan guru,
banyaknya guru honorer yang belum diangkat, mandegnya uang tunjangan guru yang
telah lulus sertifikasi, korupsi di lembaga dan kementrian pendidikan, hingga
kapitalisasi pendidikan yang melahirkan diskriminasi di dunia pendidikan. Hal
itu akan mewarnai protes komunitas akademis terhadap dunia pendidikan, baik
yang dilakukan akademisi kampus, guru-guru, maupun yang dilakukan mahasiswa.
Protes dunia pendidikan ini juga akan mewarnai dinamika politik nasional.
Momentum sumpah pemuda
sering dijadikan kalangan kaum muda Indonesia untuk melakukan refleksi kritis
tentang kabangsaan. Tidak sedikit problem kebangsaan yang mendera bangsa
Indonesia, dari soal lemahnya kedaulatan politik, lemahnya kedaulatan ekonomi,
sampai memudarnya nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks nasionalisme, koruptor
juga bagi kaum muda sama dengan penghianat bangsa. Seorang koruptor adalah
orang yang minus nasionalisme. Selain memahami problem-problem kebangsaan dan
pada saat yang sama kaum muda juga sering menjadikan nilai-nilai kepeloporan
pemuda era 1928 telah memberi inspirasi bagi lahirnya militansi pemuda untuk
melakukan perjuangan membela rakyat. Momentum ini jika bersentuhan dengan
politik ia bisa melahirkan gerakan protes militant dari kelas menengah pemuda
Indonesia dalam tahun-tahun mendatang.
Aturan Pemilu 2014 dan Serangan Politik
Jika sampai menjelang
2014 tidak ada gejolak politik signifikan maka Pemilu 2014 akan berlangsung
sebagaimana pemilu-pemilu sebelumnya dan pemenangnya sudah dapat diketahui
sejak saat ini. Jika tidak ada tokoh muda alternatif yang visioner, memiliki
integritas, dan memiliki leadership yang kuat dari calon independen, pemenang
pemilu presiden kemungkinan besar akan dimenangkan dengan pola yang sama, yakni
dimenangkan oleh sosok yang popular dan memiliki modal kapital yang besar.
Bukan oleh mereka yang minus popularitas apalagi yang minus modal kapital. Hal
menarik lain yang akan mewarnai dinamika politik menjelang pemilu 2014 adalah
problematika menyangkut aturan main pemilu. Nampaknya yang akan banyak menyita
energi politik sebelum pemilu adalah menyangkut batas Parliamentary Threshold (PT) yang dijadikan patokan untuk
mendapatkan kursi di tingkat DPR RI dan DPRD. Jika perolehan kursi di DPRD
ditentukan oleh partai yang lulus PT, tentu ini menjadi sumber picu politik
baru. Selain soal PT, penggalangan koalisi politik juga akan mewarnai dinamika
politik nasional. Koalisis politik ini bisa terjadi dimulai saat pembahasan
aturan pemilu. Koalisi politik akan dilakukan semata-mata karena hal pragmatis
kekuasaan. Hal ini bisa memicu protes dari massa partai maupun berbagai
kalangan lainya.
Selain aturan pemilu
2014, serangan politik antar partai dan antar kekuatan politik juga akan
menjadi menu sehari-hari. Makin mendekati pemilu maka makin santer dan intensif
serangan-serangan politik dilancarkan para politisi. Hal ini dilakukan untuk
melemahkan citra politik lawan dan sekaligus membangun citra politik diri dan
partainya. Lebih berdampak sosial politik bahkan ekonomi jika arena serangan
elit politik ini merambat ke massa akar rumput.
Daftar
Pustaka
Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia : Jakarta.
Cholisin et al.
2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Universitas Negeri Yogyakarta Press : Yogyakarta.
Dardias, Bayu. 2011. Isu Krusial RUU Pemilu. (Artikel Lepas, Tidak Dipublikasikan)
Dwipayana, AAGN Ari. 2012. Menjadi Pemilih +++. (Artikel Lepas, Tidak Dipublikasikan)
Surbakti, Ramlan. 2008. Buku Panduan Komisi Pemilihan Umum. Penerbit Komisi Pemilihan Umum
: Jakarta.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. PT Gramedia Mediasarana Indonesia (GRASINDO)
: Jakarta.